SHALAWAT bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.
Arti bershalawat dapat dilihat dari
pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi
rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan
ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa
agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad
Saw. dan keluarganya.
Shalawat juga berarti doa, baik untuk
diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat
sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah
Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan
Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat
pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan
(ucapan).
Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat “Shallû ‘Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya,” apakah untuk sunnat apakah untuk wajib.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu ‘ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.
Asy-Syâfi’i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Kemudian apakah shalawat itu fardlu ‘ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak.
Asy-Syâfi’i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.
Kata Al-Syakhâwî : “Pendapat yang kami
pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan
cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis
itu berulang kali disebutkan nama Rasul.
Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya “Fath al-Bârî”, sebagaimana di bawah ini.
Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:
Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.
Kedua, madzhab Ibnu Qashshar.
Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang
diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila
seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari
kewajiban.
Ketiga, madzhab Abû Bakar
Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa
bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan
dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan
kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.
Keempat, madzhab Al-Imâm
Al-Syâfi’i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib
dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan
salam.
Kelima, madzhab Al-Imâm
Asy-Sya’bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu
wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.
Keenam, madzhab Abû Ja’far
Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di
dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di
dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir.
Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu
Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya
walaupun tidak ditentukan bilangannya.
Kedelapan, madzhab Al-Thahawî
dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu
diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad.
Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama
Syâfi’iyyah.
Kesembilan, madzhab
Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu
dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu
majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.
Kesepuluh, madzhab yang
dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini
berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.
Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini,
baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn
Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : “Telah bermufakat semua
ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka
berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak
mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang.Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-’Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi’i.”
Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi’i yang mewajibkannya.
Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: “Tidaklah
jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi
itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat
dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek.
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.
Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: “Tidak
bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya,
adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh.”Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.
Artinya: “Apakah tidak lebih baik
saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia
yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah.
Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia
tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya.” (HR. Al-Turmudzû dari ‘Ali).
Kemudian hadis Nabi yang lain
Artinya: “Kaum mana saja yang duduk
dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian
mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat
kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah
meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki,
Allah akan memberi ampunan kepada mereka. ” (HR Al-Turmudzî).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar